Suryantopsikologi’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

KEBERAGAMAN (DIVERSITY) DAN PENDIDIKAN KEBER-AGAMA-AN MELALUI DOGMA

Oleh

Suryanto

Fakultas Psikologi Unair

Ada satu cerita menarik tentang pendidikan anak yang saya peroleh dari cerita kawan dari Afganistan. Beliau adalah Staf Unesco dari Afganistan di saat saya mengikuti International Conferecene in Asia-Paficic tentang Pendidikan Inklusi di Sanur Bali pada akhir bulan Mei 2008 ini. Ibu ini seorang pendidik yang kebetulan memiliki perhatian pada pendidikan anak dan menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Dalam awal ceritanya, beliau menyatakan bahwa anak inklusi di Afgan sangat banyak. karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan belajar secara equal, sementara pendidikan inklusi itu intinya semua orang harus dapat kesempatan dan peluang untuk memperoleh pendidikan yang sama pula.

Beliau cerita, ada  suatu daerah di Afgan, dimana anak2 usai sekolah  yaitu antara 9-15 tahun tidak belajar seperti layaknya orang lain. Khususnya anak laki, mereka sudah mendapatkan pendidikan (dogma) dari ortunya, bahwa mereka harus siap perang. Saya tidak cerita dalam tulisan ini golongan apa mereka ini. Hanya saja, dogma dan fanatisme bahwa mereka harus siap menjadi pembunuh manusia lain sangat kuat di kalangan kelompok ini. Mereka ini menggunakan agama untuk melakukan doktrin pada generasi ini. Hasil dari proses dogmatik ini, mereka dan rakyat kelompok ini malas belajar dan menjadi sangat terbelakang serta miskin maupun adanya jiwa dzalim secara subur. Untuk apa memperoleh pendidikan tinggi, kalau mereka tidak “beragama” sesuai ajaran di situ. Tidak sesuai dengan nilai dan ajaran yang dianut.

Aku lalu berpikir, apakah nabi-nabi mereka juga mengajarkan pada generasi mudanya waktu itu juga memberikan doktrin bahwa mereka juga harus menjadi pembubuh?  Sebagai orang awam, saya lalu berpikir, alangkah sedihnya hati sang nabi (phropet) kalau beliau mengetahui ajarannya sekarang menjadikan manusia tidak banyak berbuat kebaikan pada manusia lain, malahan lebih banyak menimbulkan keonaran untuk lingkungan dan kesedihan orang lain?

Menurut kawan saya ini, anak laki-laki yang usia muda itu malas belajar, dan bahkan sudah mulai madat dengan menggunakan opium. Mereka juga menjalankan ibadah menurut agamanya, dan mereka ini juga menggunakan opium untuk kebiasaan sehari-harinya. Hasilnya sekali lagi, keterbelakangan. Bahkan, para pemimpinnya, cendererung menggunakan agama sebagai kedok untuk meraup keuntungan pribadi. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi.

Lalu aka kaitan judul tulisan ini dengan isinya pesan moralnya?

Pendidikan dogma perlu, namun, dogma yang seperti apa yang harus diberikan pada generasi berikutnya, aau materi yang berkaitan dengan dogma. Saya kira keterbelakangan di Afgan tidak ingin kita alami dengan mengajarkan dogma yang salah. Kalau kita tahu, bahwa di lingkungan kita beragam, tentunya ada bagian2 dogma yang juga mengajarkan keberagaman. Bukannya, mengajarkan inilah yang paling benar.

Kalau semua itu kebenaran berada pada tataran interpretasi, mari kita kaji lagi, kita sadari lagi, apakah memang interpretasi kita sudah benar dan mengalami proses intersubyektif.

Itu saja. Kita tidak ingin generasi muda yang pendidikan agamanya salah, tidak menghargai orang, tidak mau menerima orang lain. Saya ingat nabi ku. beliau selalu memberikan contoh, kebaikan dan kelembutan sebagai senjata untuk melawan keangkara murkaan. Bahkan ketika dilempari feses-pun, beliau tidak marah, malah mendoakan agar orang yang melempar itu insyaf.  Amin

June 4, 2008 Posted by | Uncategorized | Leave a comment